Kamis, 28 April 2016

Hak Cipta dan Hak Merek

BAB I
PENDAHULUAN

1.1      Latar Belakang

Begitu banyaknya kasus pelanggaran hak cipta yang terjadi di Indonesia, tentunya merupakan suatu hal yang meresahkan para pencipta suatu karya. Suatu bentuk kreativitas seseorang yang harusnya dihargai, justru dijadikan sebagai kesempatan untuk mencari keuntungan bagi berbagai pihak yang tidak bertanggung jawab.
Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman etnik/ suku bangsa dan budaya serta kekayaan di bidang seni dan sastra dengan pengembangan-pengembangannya yang memerlukan perlindungan hak cipta terhadap kekayaan intelektual yang lahir dari keanekaragaman tersebut. perkembangan di bidang perdagangan, industri, dan investasi telah sedemikian pesat sehingga memerlukan peningkatan perlindungan bagi pencipta dan pemilik hak terkait dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat luas.
Melihat pemberitaan yang disampaikan oleh Vivanews pada tanggal 1 Mei 2012 menyatakan bahwa Amerika Serikat kembali menggolongkan Indonesia dalam daftar negara yang sangat bermasalah dalam pelanggaran hak cipta atau kekayaan intelektual. Amerika Serikat berkepentingan dalam penyusunan daftar ini mengingat sebagian besar ekspor mereka terkait dengan hak cipta.
Amerika Serikat tahun ini, menggolongkan Indonesia dalam daftar "priority watch list" untuk pelanggaran hak cipta. Daftar negara yang paling bermasalah dengan pelanggaran hak cipta ini tidak berakibat munculnya sanksi. Namun, sekadar untuk membuat efek malu bagi pemerintah negara yang bersangkutan untuk lebih giat lagi memberantas pembajakan dan pemalsuan merek dagang serta memperbaiki penegakan hukum masing-masing di bidang perlindungan kekayaan intelektual.
Indonesia yang sebenarnya memiliki banyak kreativitas daya cipta, memang tidak terlepas dari adanya realita bahwa memang ada sebagian masyarakat yang memiliki mental plagiatisme.
Semakin hari, kasus pelanggaran hak cipta di Indonesia, semakin meningkat. Kasus ini harusnya dijadikan kasus utama yang harus segera diatasi, bukan dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting. Sebagian besar masyarakat mungkin tidak memandang hal ini sebagai suatu masalah besar, sehingga masalah ini tidak segera diatasi dan memberikan sanksi jera bagi orang yang melanggar hak cipta.
Atas pemikiran tersebut dan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Etika dan Profesionalisme TSI (SoftSkill), maka penulis menyusun makalah “Pelanggaran Hak Cipta” ini untuk memberikan pembahasan mengenai berbagai hal yang menyangkut hak cipta, yang disertai dengan contoh kasus pelanggarannya.

1.2       RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah yang dibahas pada makalah ini antara lain sebagai berikut:
1.      Apa itu hak cipta?
2.      Apa saja istilah yang ada dalam hak cipta?
3.      Bagaimana sejarah munculnya hak cipta?
4.      Apa saja dasar hukum dari hak cipta?
5.      Apa saja sifat dari hak cipta?
6.      Apa fungsi dari hak cipta?
7.      Apa saja hak yang tercakup dalam hak cipta?
8.      Apa saja pengecualian dan batasan dari hak cipta?
9.      Sampai kapan perlindungan terhadap hak cipta berlaku?
10.  Bagaimana prosedur pendaftaran hak cipta?
11.  Seperti apa upaya penegakan hukum atas hak cipta?
12.  Apa saja bentuk pelanggaran hak cipta?
13.  Apa sanksi pidana atas pelanggaran hak cipta?

1.3       TUJUAN PENULISAN

Selain untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Etika dan Profesionalisme TSI (SoftSkill), berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan yang hendak dicapai antara lain:
1.      Untuk mengetahui definisi dari hak cipta.
2.      Untuk mengetahui istilah-istilah yang ada dalam hak cipta.
3.      Untuk mengetahui sejarah munculnya hak cipta.
4.      Untuk mengetahui dasar hukum dari hak cipta.
5.      Untuk mengetahui sifat-sifat dari hak cipta.
6.      Untuk mengetahui fungsi dari hak cipta.
7.      Untuk mengetahui hak-hak yang tercakup dalam hak cipta.
8.      Untuk mengetahui pengecualian dan batasan dari hak cipta.
9.      Untuk mengetahui jangka waktu perlindungan terhadap hak cipta.
10.  Untuk mengetahui prosedur pendaftaran hak cipta.
11.  Untuk mengetahui upaya penegakan hukum atas hak cipta.
12.  Untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta.
13.  Untuk mengetahui sanksi pidana atas pelanggaran hak cipta.











BAB II
LANDASAN TEORI

2.1       DEFINISI HAK CIPTA

Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002, pengertian hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa hak cipta itu hanya dapat dimiliki oleh si pencipta atau si penerima hak. Hanya namanya yang disebut sebagai pemegang hak khususnya yang boleh menggunakan hak cipta dan ia dilindungi dalam penggunaan haknya terhadap subjek lain yang menggangu atau yang menggunakannya tidak dengan cara yang diperkenankan oleh aturan hukum.
Hak cipta merupakan hak ekslusif, yang memberi arti bahwa selain pencipta maka orang lain tidak berhak atasnya kecuali atas izin penciptanya. Hak itu muncul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan. Hak cipta tidak dapat dilakukan dengan cara penyerahan nyata karena ia mempunyai sifat manunggal dengan penciptanya dan bersifat tidak berwujud sesuai dengan penjelasan pasal 4 ayat 1 dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2002. Sifat manunggal itu pula yang menyebabkan hak cipta tidak dapat digadaikan, karena jika digadaikan itu berarti si pencipta harus pula ikut beralih ke tangan kreditur.
Menurut Wikipedia, hak cipta (lambang internasional: ©, Unicode: U+00A9) adalah hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.

2.2       ISTILAH-ISTILAH DALAM HAK CIPTA

Terdapat 3 (tiga) istilah dalam hak cipta, yaitu:
1)      Pencipta
Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, cekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
2)      Pemegang Hak Cipta
Pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
3)      Ciptaan
Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.

2.3       SEJARAH HAK CIPTA

Konsep hak cipta di Indonesia merupakan terjemahan dari konsep copyright dalam bahasa Inggris (secara harafiah artinya "hak salin"). Copyright ini diciptakan sejalan dengan penemuan mesin cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang pertama kali meminta perlindungan hukum terhadap karya cetak yang dapat disalin.
Awalnya, hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual karya cetak. Baru ketika peraturan hukum tentang copyright mulai diundangkan pada tahun 1710 dengan Statute of Anne di Inggris, hak tersebut diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright, yaitu selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum.
Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works (Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra) pada tahun 1886 adalah yang pertama kali mengatur masalah copyright antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini, copyright diberikan secara otomatis kepada karya cipta, dan pengarang tidak harus mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah karya dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan hak eksklusif copyright terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya derivatifnya, hingga si pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau hingga masa berlaku copyright tersebut selesai.
Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa harus membayar royalti.
Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad No. 600 Tahun 1912 dan menetapkan Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1987, Undang-undang No. 12 Tahun 1997, dan pada akhirnya dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2002 yang kini berlaku.
Perubahan undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran Indonesia dalam pergaulan antarnegara. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi pembentukan World Trade Organization - WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Propertyrights - TRIPs (Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-undang No. 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty (Perjanjian Hak Cipta WIPO) melalui Keputusan Presiden No. 19 Tahun 1997.

2.4       DASAR HUKUM HAK CIPTA

Indonesia saat ini telah meratifikasi konvensi internasional dibidang hak cipta yaitu namanya Berne Convension tanggal 7 Mei 1997 dengan Kepres No. 18/ 1997 dan dinotifikasikan ke WIPO tanggal 5 Juni 1997, dengan konsekuensi Indonesia harus melindungi dari seluruh negara atau anggota Berne Convention.
 Perlindungan hak cipta diatur dalam Undang-undang No. 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta , kemudian diubah menjadi UU No. 7 tahun 1987, dan diubah lagi menjadi UU No. 12 1987 beserta peraturan pelaksanaannya.
Selain UU tersebut di atas, terdapat dasar hukum lain atas hak cipta, antara lain:
1)      Undang-undang Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO)
2)      Undang-undang No. 10/1995 tentang Kepabeanan
3)      Undang-undang No. 12/1997 tentang Hak Cipta
4)      Undang-undang No. 14/1997 tentang Merek
5)      Keputusan Presiden RI No. 15/1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization
6)      Keputusan Presiden RI No. 17/1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty
7)      Keputusan Presiden RI No. 18/1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works
8)      Keputusan Presiden RI No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty

2.5       SIFAT HAK CIPTA

Sifat-sifat hak cipta diatur dalam pasal 3 ayat (1) dan (2) No. 19 Tahun 2002, yaitu:
1)      Hak cipta dianggap sebagai benda bergerak.
2)      Hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena beberapa hal, seperti  pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tulis, dan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Serta pasal 4 ayat (1) dan (2) UU yang sama, yaitu:
1)      Hak cipta yang dimiliki oleh Pencipta, yang setelah Penciptanya meninggal dunia, menjadi milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat, dan Hak Cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali jika hak itu diperoleh secara melawan hukum.
2)      Hak cipta yang tidak atau belum diumumkan yang setelah Penciptanya meninggal dunia, menjadi milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat, dan Hak Cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali jika hak itu diperoleh secara melawan hukum.

2.6       FUNGSI HAK CIPTA

Secara umum, fungsi hak cipta diatur dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 19 Tahun 2002:
1)      Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2)      Pencipta dan/ atau pemegang hak cipta atas karya sinematografi dan program komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaannya untuk kepentingan yang bersifat komersial.

2.7       HAK-HAK YANG TERCAKUP DALAM HAK CIPTA

Hak-hak yang tercakup dalam hak cipta meliputi:
1)      Hak Eksklusif
Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk:
a)      Membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (pada umumnya adalah salinan elektronik).
b)      Mengimpor dan mengekspor ciptaan. Menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan).
c)      Menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum.
d)     Menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
Yang dimaksud dengan "hak eksklusif" dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
2)      Hak Ekonomi dan Moral
Banyak negara mengakui adanya hak moral yang dimiliki pencipta suatu ciptaan, sesuai penggunaan Persetujuan TRIPs WTO (yang secara inter alia juga mensyaratkan penerapan bagian-bagian relevan Konvensi Bern). Secara umum, hak moral mencakup hak agar ciptaan tidak diubah atau dirusak tanpa persetujuan, dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan tersebut.
Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep "hak ekonomi" dan "hak moral". Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan. Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak moral diatur dalam pasal 24-26 Undang-undang Hak Cipta.

2.8       PENGECUALIAN DAN BATASAN HAK CIPTA

Perkecualian hak cipta dalam hal ini berarti tidak berlakunya hak eksklusif yang diatur dalam hukum tentang hak cipta. Contoh perkecualian hak cipta adalah doktrin fair use atau fair dealing yang diterapkan pada beberapa negara yang memungkinkan perbanyakan ciptaan tanpa dianggap melanggar hak cipta.
Dalam Undang-undang Hak Cipta yang berlaku di Indonesia, beberapa hal diatur sebagai dianggap tidak melanggar hak cipta (pasal 14–18). Pemakaian ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya. Kepentingan yang wajar dalam hal ini adalah "kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan". Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan ciptaan untuk pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Selain itu, seorang pemilik (bukan pemegang hak cipta) program komputer dibolehkan membuat salinan atas program komputer yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan sendiri.
Selain itu, Undang-undang Hak Cipta juga mengatur hak pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan atau mewajibkan pihak tertentu memperbanyak ciptaan berhak cipta demi kepentingan umum atau kepentingan nasional (pasal 16 dan 18), ataupun melarang penyebaran ciptaan "yang apabila diumumkan dapat merendahkan nilai-nilai keagamaan, ataupun menimbulkan masalah kesukuan atau ras, dapat menimbulkan gangguan atau bahaya terhadap pertahanan keamanan negara, bertentangan dengan norma kesusilaan umum yang berlaku dalam masyarakat, dan ketertiban umum" (pasal 17). Ketika orang mengambil hak cipta seseorang maka orang tersebut akan mendapat hukuman yang sesuai pada kejahatan yang di lakukan.
Tidak ada hak cipta atas hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim, ataupun keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya (misalnya keputusan-keputusan yang memutuskan suatu sengketa. Di Amerika Serikat, semua dokumen pemerintah, tidak peduli tanggalnya, berada dalam domain umum, yaitu tidak berhak cipta.
Pasal 14 Undang-undang Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan atau perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli tidaklah melanggar hak cipta. Demikian pula halnya dengan pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.

2.9       JANGKA WAKTU PERLINDUNGAN HAK CIPTA

Jangka waktu perlindungan hak cipta, yaitu:
1)      Ciptaan buku, ceramah, alat peraga, lagu, drama, tari, seni rupa, arsitektur, peta, seni batik terjemahan, tafsir, saduran, berlaku selama hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia.
2)      Ciptaan program komputer, sinematografi, fotografi, database, karya hasil pengalihwujudan berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan.
3)      Ciptaan atas karya susunan perwajahan karya tulis yang diterbitkan, berlaku selama 25 tahun sejak pertama kali diterbitkan.
4)      Ciptaan yang dimiliki atau dipegang oleh badan hukum berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan.
5)      Ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan oleh negara berdasarkan ketentuan pasal 10 ayat (2) huruf b, berlaku tanpa batas.

2.10  PROSEDUR PENDAFTARAN HAK CIPTA

Perlindungan suatu ciptaan timbul secara otomatis sejak ciptaan itu diwujudkan dalam bentuk yang nyata. Pendaftaran ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban untuk mendapatkan hak cipta. Namun demikian, pencipta maupun pemegang hak cipta yang mendaftarkan ciptaannya akan mendapat surat pendaftaran ciptaan yang dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan tersebut. Ciptaan dapat didaftarkan ke Kantor Hak Cipta, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual-Departemen Hukum dan HAM (Ditjen HKI-Depkumham).
Syarat untuk permohonan pendataran Hak Cipta:
1)      Mengisi formulir pendaftaran ciptaan rangkap dua.
2)      Surat permohonan pendaftaran ciptaan yang mencantumkan nama dan kewarganegaraan yang bersangkutan.
3)      Uraian ciptaan rangkap dua.
Surat permohonan pendaftaran ciptaan hanya dapat diajukan:
1)      Melampirkan bukti kewarganegaraan pencipta dan pemegang hak cipta berupa fotokopi KTP.
2)      Permohonan pendaftaran ciptaan diajukan atas nama lebih dari seorang dan satu Badan Hukum dengan demikian nama-nama harus ditulissemuanya , dengan menetapkan satu alamat pemohon.
3)      Melampirkan contoh ciptaan yang dimohonkan pendaftarannya atau penggantinya.
4)      Membayar biaya permohonannya pendaftaran sebesar Rp. 75.000 (tujuh puluh lima ribu rupiah).

2.11  PENEGAKAN HUKUM ATAS HAK CIPTA

Penegakan hukum atas hak cipta biasanya dilakukan oleh pemegang hak cipta dalam hukum perdata, namun ada pula sisi hukum pidana. Sanksi pidana secara umum dikenakan kepada aktivitas pemalsuan yang serius, namun kini semakin lazim pada perkara-perkara lain. Sanksi pidana atas pelanggaran hak cipta di Indonesia secara umum diancam hukuman penjara paling singkat satu bulan dan paling lama tujuh tahun yang dapat disertai maupun tidak disertai denda sejumlah paling sedikit satu juta rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah, sementara ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh Negara untuk dimusnahkan (UU 19/2002 bab XIII).

2.12  PELANGGARAN HAK CIPTA

Suatu pelanggaran terhadap sebuah karya ciptaan terjadi apabila:
1)      Terjadi pengeksploitasian (pengumuman, penggandaan dan pengedaran) untuk kepentingan komersial sebuah karya cipta tanpa terlebih dahulu meminta izin atau mendapatkan lisensi dari penciptanya/ atau ahli warisnya. Termasuk di dalamnya tindakan penjiplakan.
2)      Peniadaan nama pencipta pada ciptaannya.
3)      Penggantian atau perubahan nama pencipta pada ciptaannya yang dilakukan tanpa persetujuan dari pemilik hak ciptanya.
4)      Penggantian atau perubahan judul sebuah ciptaan tanpa persetujuan dari penciptanya atau ahli warisnya.
Pelanggaran terhadap suatu hasil ciptaan selain dilakukan oleh orang perorangan, dalam kenyataannya banyak dilakukan pula oleh korporasi (corporate) atau badan hukum. Pertanggungjawaban pidana terhadap suatu korporasi yang melakukan perbuatan melawan hukum dengan melanggar hak cipta seseorang atau badan hukum dapat dikenakan kepada badan hukum yang bersangkutan, dalam hal ini adalah pengurus dari badan hukum tersebut sesuai dengan pertanggung-jawabannya menurut AD/ART dari badan hukum tersebut.
Undang-undang Hak Cipta juga telah menyediakan dua sarana hukum, yang dapat dipergunakan untuk menindak pelaku pelanggaran terhadap hak cipta, yaitu melalui sarana instrumen hukum pidana dan hukum perdata, bahkan dalam Undang-undang Hak Cipta, penyelesaian sengketa di bidang hak cipta dapat dilakukan di luar pengadilan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Dalam pasal 66 Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 dinyatakan bahwa: “hak untuk mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 55, pasal 56, dan pasal 65 tidak mengurangi hak negara untuk melakukan tuntutan terhadap pelanggaran hak cipta”.
Bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta:
Bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta antara lain berupa pengambilan, pengutipan, perekaman, pertanyaan, dan pengumuman sebagian atau seluruh ciptaan orang lain dengan cara apapun tanpa izin pencipta/pemegang hak cipta, bertentangan dengan undang-undang atau melanggar perjanjian. Dilarang undang-undang artinya undang-undang hak cipta tidak memperkenankan perbuatan itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, karena tiga hal, yaitu:
1)      Merugikan pencipta,/pemegang hak cipta, misalnya memfotokopi sebagian atau seluruhnya ciptaan orang lain kemudian dijualbelikan kepada masyarakat luas .
2)      Merugikan kepentingan negara, misalnya mengumumkan ciptaan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan.
3)      Bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, misalnya memperbanyak dan menjual video compact disc (VCD) porno.
Pelanggaran hak cipta menurut ketentuan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pada tanggal 15 Februari 1984 dapat dibedakan dua jenis, yaitu:
1)      Mengutip sebagian ciptaan orang lain dan dimasukkan ke dalam ciptaan sendiri seolah-olah ciptaan sendiri atau mengakui ciptaan orang lain seolah-olah ciptaan sendiri. Perbuatan ini disebut palgiat atau penjiplakan yang dapat terjadi antara lain pada karya cipta berupa buku, lagu, dan notasi lagu.
2)      Mengambil ciptaan orang lain untuk diperbanyak dan diumumkan sebagaimana yang aslinya tanpa mengubah bentuk isi, pencipta, dan penerbit/perekam. Perbuatan ini disebut dengan piracy (pembajakan) yang banyak dilakukan pada ciptaan berupa buku, rekaman audio/video seperti kaset lagu dan gambar (VCD), karena menyangkut dengan masalahcommercial scale.
Pasal 72 UU No.19 Tahun 2002 menentukan pula bentuk perbuatan pelanggaran hak cipta sebagai delik undang-undang yang dibagi tiga kelompok, yaitu:
1)      Dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan, memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain melanggar larangan untuk mengumumkan, memperbanyak atau memberi izin untuk itu setiap ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan, dan ketertiban umum.
2)      Dengan sengaja memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang-barang hasil pelanggaran hak cipta. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain penjualan buku dan VCD bajakan.
3)      Dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer.
Ketentuan sanksi pidana pelanggaran hak cipta:
Berdasarkan pasal 56 Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002, bahwa hak untuk mengajukan gugatan ganti rugi sebagaimana diatur dalam pasal 66 ayat (1) Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002, tidak mengurangi hak negara untuk melakukan tuntutan pidana pada setiap pelanggaran hak cipta. Negara berkewajiban mengusut setiap pelanggaran hak cipta yang terjadi. Hal ini didasarkan pada kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan pelanggaran hak cipta, yang tidak saja diderita oleh pemilik atau pemegang hak cipta dan hak terkait, tetapi juga oleh negara, karena kurangnya pendapatan negara yang seharusnya bisa didapat dari pemegang hak cipta atau hak terkait. Selain itu negara harus melindungi kepentingan pemilik hak, agar haknya jangan sampai dilanggar oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Perlindungan melalui ketentuan-ketentuan pidana, seperti yang diatur dalam pasal 382 bis KUH Pidana yang lazim dikenal sebagai persaingan curang (oneerlijke concurrentie). Persaingan curang merupakan perbuatan untuk menyesatkan khalayak umum atau seseorang tertentu dengan maksud untuk mendapatkan, melangsungkan, atau memperluas debit perdagangan atau perusahaan kepunyaan sendiri atau orang lain.
Dengan Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002, pengaturan mengenai ketentuan pidana telah berubah secara mendasar. Pada Undang-undang Hak Cipta sebelumnya tidak ada ketentuan yang mengatur tentang hukuman penjara minimum. Jika terdakwa dinyatakan terbukti bersalah oleh pengadilan, maka terdakwa dapat dipidana penjara paling singkat satu bulan atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Di samping itu, juga terdapat kenaikan denda yang sangat tinggi dari Rp 100.000.000,- menjadi Rp 5.000.000.000,-. Kenaikan hukuman denda yang sangat besar itu dimaksudkan agar ada efek jera bagi mereka yang melakukan pelanggaran, karena denda Rp 100.000.000,- dianggap masih ringan oleh para pelanggar, karena keuntungan (profit gain) yang diperoleh jauh lebih besar dibandingkan denda yang dijatuhkan.
Bentuk pelanggaran hak cipta yang pertama adalah dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan, memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain melanggar larangan untuk mengumumkan, memperbanyak atau memberi izin untuk itu setiap ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan, dan ketertiban umum. Pelanggaran hak cipta ini melanggar pasal 72 ayat (1).
Pasal 72 ayat (1) menyebutkan, bahwa bagi yang tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat atau pidana minimum 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).
Bentuk pelanggaran hak cipta yang kedua adalah dengan sengaja memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang-barang hasil pelanggaran hak cipta. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain penjualan buku dan VCD bajakan. Pelanggaran hak cipta ini melanggar pasal 72 ayat (2).
Pasal 72 ayat (2), kemudian menyatakan, bahwa bagi yang sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Bentuk pelanggaran hak cipta yang ketiga adalah dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer. Pelanggaran hak cipta ini melanggar pasal 72 ayat (3).
Selanjutnya pasal 72 ayat (3), menyebutkan, bahwa bagi yang tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).



BAB III
STUDI KASUS

3.1  STUDI KASUS I : PEMBAJAKAN PERANGKAT LUNAK

Pada awal tahun 2012 lalu kita dikejutkan oleh ditutupnya salah satu situs file sharing terbesar, yakni Megaupload. Menurut informasi yang ada, hal ini terjadi karena Megaupload dianggap mendukung pembajakan (piracy), karena dalam situsnya memiliki berjuta-juta data illegal yang salah satunya berupa perangkat lunak (software). Sehingga kasus ini sudah dianggap salah satu kasus kejahatan hak cipta terbesar di dunia yang langsung menargetkan penyalahgunaan situs penyimpanan konten dan distribusi publik untuk melakukan kejahatan hak intelektual.
Kasus Megaupload ini sendiri dipandang melanggar ketentuan RUU yang dikenal dengan nama SOPA (Stop Online Piracy Act) dan PIPA (PROTECT IP Act) yang mana merupakan undang-undang terkait hasil pembajakan serta beragam produk digital seperti film dan musik.
Dari segi hukum Indonesia pun termasuk dalam pasal 25 UU ITE yang berbunyi: “Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”
UU yang dilanggar dan sanksi:
Bentuk pelanggaran hak cipta pada kasus di atas adalah dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer. Pelanggaran hak cipta ini melanggar pasal 72 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2002, disebutkan bahwa bagi yang tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Solusi:
Berikut beberapa solusi untuk menangani maraknya pelanggaran pembajakan perangkat lunak:
1)      Penggunaan software open source yang bisa didapatkan dengan gratis.
2)      Perlunya kesadaran masyarakat untuk menghargai hasil karya orang lain.
3)      Masyarakat pengguna komputer juga harus sadar kalau memakai perangkat lunak bajakan maka kemungkinan komputernya untuk terkena virus akan lebih besar. Perangkat lunak bajakan yang ada di internet mungkin patut dicurigai, karena mungkin saja orang yang membajak perangkat lunak tersebut telah menyisipkan virus di perangkat lunak bajakan yang kitadownload di internet.
4)      Pemberian sanksi yang tegas kepada para penjual perangkat lunak bajakan supaya mereka jera.
5)      Pemerintah memberikan penyuluhan tentang pentingnya penghargaan terhadap suatu kekayaan intelektual.

3.2      STUDI KASUS II : PEMBAJAKAN BUKU DAN SEJENISNYA

Di Indonesia, seseorang dengan mudah dapat memfotokopi sebuah buku, padahal dalam buku tersebut melekat hak cipta yang dimiliki oleh pengarang atau orang yang ditunjuk oleh pengarang sehingga apabila kegiatan fotokopi dilakukan dan tanpa memperoleh izin dari pemegang hak cipta maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta. Lain lagi dengan kegiatan penyewaan buku di taman bacaan, masyarakat dan pengelola taman bacaan tidak sadar bahwa kegiatan penyewaan buku semacam ini merupakan bentuk pelanggaran hak cipta. Apalagi saat ini bisnis taman bacaan saat ini tumbuh subur dibeberapa kota di Indonesia, termasuk Yogyakarta. Di Yogyakarta dapat dengan mudah ditemukan taman bacaan yang menyediakan berbagai terbitan untuk disewakan kepada masyarakat yang membutuhkan. Kedua contoh tersebut merupakan contoh kecil dari praktek pelanggaran hak cipta yang sering dilakukan oleh masyarakat dan masyarakat tidak menyadari bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah bentuk dari pelanggaran hak cipta.
Padahal jika praktek seperti ini diteruskan maka akan membunuh kreatifitas pengarang. Pengarang akan enggan untuk menulis karena hasil karyanya selalu dibajak sehingga dia merasa dirugikan baik secara moril maupun materil. Pengarang atau penulis mungkin akan memilih profesi lain yang lebih menghasilkan. Selain itu kurang tegasnya penegakan hak cipta dapat memotivasi kegiatan plagiasi di Indonesia. Kita tentu pernah mendengar gelar kesarjanaan seseorang dicopot karena meniru tugas akhir karya orang lain.
Mendarah dagingnya kegiatan pelanggaran hak cipta di Indonesia menyebabkan berbagai lembaga pendidikan dan pemerintah terkadang tidak sadar telah melakukan kegiatan pelanggaran hak cipta. Padahal, seharusnya berbagai lembaga pemerintah tersebut memberikan teladan dalam hal penghormatan terhadap hak cipta. Contoh konkritnya adalah perpustakaan, lembaga ini sebenarnya rentan akan pelanggaran hak cipta apabila tidak paham mengenai konsep hak cipta itu sendiri. Plagiasi, digitalisasi koleksi dan layanan fotokopi merupakan topik-topik yang bersinggungan di hak cipta. Akan tetapi selain rentan dengan pelanggaran hak cipta justru lembaga ini dapat dijadikan sebagai media sosialisasi hak cipta sehingga dapat menimalkan tingkat pelanggaran hak cipta di Indonesia.
Perpustakaan menghimpun dan melayankan berbagai bentuk karya yang dilindungi hak ciptanya. Buku, jurnal, majalah, ceramah, pidato, peta, foto, tugas akhir, gambar adalah sebagai format koleksi perpustakaan yang didalamnya melekat hak cipta. Dengan demikian maka perpustakaan sebenarnya sangat erat hubungannya dengan hak cipta. Bagaimana, tidak di dalam berbagai koleksi yang dimiliki perpustakaan melekat hak cipta yang perlu dihormati dan dijaga oleh perpustakaan. Jika tidak berhati-hati atau memiliki rambu-rambu yang jelas dalam pelayanan perpustakaan justru perpustakaan dapat menyuburkan praktek pelanggaran hak cipta.
Untuk itu dalam melayankan berbagai koleksi yang dimiliki perpustakaan, maka perpustakaan perlu berhati-hati agar layanan yang diberikannya kepada masyarakat bukan merupakan salah satu bentuk praktek pelanggaran hak cipta. Dan idealnya perpustakaan dapat dijadikan sebagai teladan dalam penegakan hak cipta dan sosialisasi tentang hak cipta.
Layanan fotokopi, digitalisasi koleksi serta maraknya plagiasi karya tulis merupakan isu serta layanan perpustakaan yang terkait dengan hak cipta. Perpustakaan perlu memberikan pembatasan yang jelas mengenai layanan fotokopi sehingga layanan ini tidak dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak cipta. Dalam kegiatan digitalisasi koleksi, perpustakaan juga perlu berhati-hati agar kegiatan yang dilakukan tidak melanggar hak cipta pengarang. Selain itu perpustakaan juga perlu menangani plagiasi karya tulis dengan berbagai strategi jitu dan bukan dengan cara proteksi koleksi tersebut sehingga tidak dapat diakses oleh pengguna perpustakaan.
UU yang dilanggar dan sanksi:
Bentuk pelanggaran hak cipta pada kasus di atas adalah dengan sengaja mengumumkan atau memperbanyak ciptaan pencipta atau pemegang hak cipta dan tanpa izin menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial. Pelanggaran hak cipta ini melanggar pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 19 Tahun 2002, disebutkan bahwa bagi mereka yang dengan sengaja atau tanpa hak melanggar hak cipta orang lain dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), sesuai dengan ketentuan pidana pasal 72 ayat (1) UU yang sama.
Solusi:
Berikut beberapa solusi untuk menangani maraknya pelanggaran pembajakan buku dan sejenisnya:
1)      Perlunya kesadaran masyarakat untuk menghargai hasil karya orang lain.
2)      Pemberian sanksi yang tegas kepada pihak-pihak yang terlibat supaya mereka jera.
3)      Pemerintah memberikan penyuluhan tentang pentingnya penghargaan terhadap suatu kekayaan intelektual.
A.     Pengertian Hak Merek
        Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. (Menurut UU No.15 Tahun 2001)
Merek dapat dibedakan dalam beberapa macam, antara lain:
  1. Merek Dagang: merek digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang/beberapa orang/badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis.
  2. Merek Jasa: merek digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang/beberapa orang/badan hukun untuk membedakan dengan jasa sejenis.
  3. Merek Kolektif: merek digunakan pada barang/jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang/badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang/ jasa sejenisnya.
        Sedangkan pengertian dari Hak Merek adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan ijin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

1.     Fungsi Merek
    Menurut Endang Purwaningsih, suatu merek digunakan oleh produsen atau pemilik merek untuk melindungi produknya, baik berupa jasa atau barang dagang lainnya, menurut beliau suatu merek memiliki fungsi sebagai berikut:
  1. Fungsi pembeda, yakni membedakan produk yang satu dengan produk perusahaan lain
  2. Fungsi jaminan reputasi, yakni selain sebagai tanda asal usul produk, juga secara pribadi  menghubungkan reputasi produk bermerek tersebut dengan produsennya, sekaligus memberikan jaminan kualitas akan produk tersebut.
  3. Fungsi promosi, yakni merek juga digunakan sebagai sarana memperkenalkan dan mempertahankan reputasi produk lama yang diperdagangkan, sekaligus untuk menguasai pasar.
  4. Fungsi rangsangan investasi dan pertumbuhan industri, yakni merek dapat menunjang pertumbuhan industri melalui penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri dalam menghadapi mekanisme pasar bebas.
      Fungsi merek dapat dilihat dari sudut produsen, pedagang dan konsumen. Dari segi produsen merek digunakan untuk jaminan nilai hasil produksinya, khususnya mengenai kualitas, kemudian pemakaiannya, dari pihak pedagang, merek digunakan untuk promosi barang-barang dagangannya guna mencari dan meluaskan pasaran, dari pihak konsumen, merek digunakan untuk mengadakan pilihan barang yang akan dibeli.
Sedangkan, Menurut Imam Sjahputra, fungsi merek adalah sebagai berikut:
a. Sebagai tanda pembeda (pengenal);
b. Melindungi masyarakat konsumen ;
c. Menjaga dan mengamankan kepentingan produsen;
d. Memberi gengsi karena reputasi;
e. Jaminan kualitas.

2.     Persyaratan dan Pendaftaran Merek
        Sistem pendaftaran merek menganut stelsel konstitutif, yaitu sistem pendaftaran yang akan menimbulkan suatu hak sebagai pemakai pertama pada merek, pendaftar pertama adalah pemilik merek. Pihak ketiga tidak dapat menggugat sekalipun beritikad baik.
Pemohon dapat berupa:
1. Orang/Persoon
2. Badan Hukum / Recht Persoon
3. Beberapa orang / Badan Hukum (Pemilikan Bersama)
Dalam melakukan Prosedur pendaftaran merek, hal yang biasanya kita lakukan adalah sebagai berikut:
1. Isi formulir yang telah disediakan oleh DitJen HKI (Hak Kekayaan Intelektual) dalam Bahasa
    Indonesia dan diketik rangkap empat.
2. Lampirkan syarat-syarat berupa:
  • Surat pernyataan di atas kertas bermeterai Rp6.000 serta ditandatangani oleh pemohon 
  • langsung (bukan kuasa pemohon), yang menyatakan bahwa merek yang dimohonkan adalah milik pemohon;
  • Surat kuasa khusus, apabila permohonan pendaftaran diajukan melalui kuasa pemohon;
  • Salinan resmi Akta Pendirian Badan Hukum atau fotokopinya yang ditandatangani oleh notaris, 
   Apabila pemohon badan hukum;
  • 24 lembar etiket merek [empat lembar dilekatkan pada formulir] yang dicetak di atas kertas;
  • Fotokopi KTP pemohon;
  • Bukti prioritas asli dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia apabila permohonan dilakukan  dengan hak prioritas; dan
  • Bukti pembayaran biaya permohonan merek sebesar Rp450.000.
Merek tidak dapat didaftar jika:
  • Bertentangan dengan peraturan UU, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum
  • Tidak memiliki daya pembeda
  • Telah menjadi milik umum
  • Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan  pendaftarannya
3. Fungsi Pendaftaran Merk
1. Sebagai alat bukti sebagai pemilik yang berhak atas merek yang didaftarkan;
2. Sebagai dasar penolakan terhadap merek yang sama keseluruhan atau sama pada pokoknya yang   
    dimohonkan pendaftaran oleh orang lain untuk barang/jasa sejenisnya;
3. Sebagai dasar untuk mencegah orang lain memakai merek yang sama keseluruhan  atau  sama  pada         
    pokoknya  dalam  peredaran  untuk barang/jasa sejenisnya.

B.     Makna Simbol R , C, TM
  1. Simbol ® merupakan kepanjangan dari Registered Merk artinya merek terdaftar. Merek- Merek yang menggunakan simbol tersebut mempunyai arti bahwa merek tersebut telah terdaftar dalam Daftar Umum Merek yang dibuktikan dengan terbitnya sertifikat merek.
  2. Simbol TM merupakan kepanjangan dari Trade Mark artinya Merek Dagang. Simbol TM  biasanya digunakan orang untuk mengindikasikan bahwa merek dagang tersebut masih dalam proses.Baik proses pengajuan di kantor merek ataupun proses perpanjangan karena jangka waktu perlindungan (10tahun) yang hampir habis (expired). *Namun bagi negara-negara yang menganut sistem merek "first in use" seperti Amerika Serikat tanda ™ berarti merek tersebut telah digunakan dan dimiliki.
  3. Sedangkan simbol © kepanjangan dari copyright artinya Hak Cipta, merupakan logo yang digunakan dalam lingkup cipta dengan kata lain karya tersebut orisinil. Pengunanaan simbol © dapat digunakan walaupun karya tersebut tidak dapat dibuktikan dengan sertifikat hak cipta, karena perlindungan hak cipta bersifat otomatis (automathic right), namun adanya sertifikat hak cipta dapat menjadi bukti formil dimata penegak hukum.
Komponen penting dalam hak cipta khususnya lukisan/ logo, yaitu:
1. Pencipta (sebagai pemegang hak moral)
2. Pemegang Hak Cipta
3. Obyek Ciptaan
4. Kapan dan dimana ciptaan itu dibuat/ diumumkan
      Logo R, TM dan C merupakan suatu tanda yang biasanya dicantumkan dengan tujuan untuk menghalangi pihak yang akan meniru atau menjiplak karyanya, dimana secara tidak langsung ingin memberitahuan bahwa produknya atau karyanya telah diajukan permohonan atau telah terlindungi haknya.

C.    Hak Merk
1.     Dasar Perlindungan Merek
        Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (UUM).
Merek diberi upaya perlindungan hukum yang lain, yaitu dalam wujud Penetapan Sementara Pengadilan untuk melindungi Mereknya guna mencegah kerugian yang lebih besar. Di samping itu, untuk memberikan kesempatan yang lebih luas dalam penyelesaian sengketa dalam undang-undang ini dimuat ketentuan tentang Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.
2.     Lisensi
      Pemilik merek terdaftar berhak memberikan lisensi kepada pihak lain dengan perjanjian bahwa lisensi akan menggunakan merek tersebut untuk sebagian atau seluruh jenis barang atau jasa. Perjanjian lisensi wajib dimohonkan pencatatannya pada DJHKI dengan dikenai biaya dan akibat hukum dari pencatatan perjanjian lisensi wajib dimohonkan pencatatan pada DJHKI dengan dikenai biaya dan akibat hukum dari pencatatan perjanjian lisensi berlaku pada pihak-pihak yang bersangkutan dan terhadap pihak ketiga.
3.     Pengalihan Merek
Merek terdaftar atau dialihkan dengan cara:
1   Perwarisan;
2   Wasiat;
3   Hibah;
4   Perjanjian;
5   Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

3.  Merek yang Tidak Dapat Didaftar Merek tidak dapat didaftarkan karena merek tersebut:

  1. Didaftarkan oleh pemohon yang bertikad tidak baik;
  2. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas keagamaan, kesusilaan,     atau ketertiban umum;
  3. Tidak memiliki daya pembeda;
  4. Telah menjadi milik umum; atau
  5. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan  barang  atau jasa  yang dimohonkan pendaftarannya.(Pasal 4 dan Pasal 5 UUM)
4.   Penghapusan Merek Terdaftar Merek terdaftar dapat dihapuskan karena empat kemungkinan yaitu:
1      Atas prakarsa DJHKI;
2     Atas permohonan dari pemilik merek yang bersangkutan;
3     Atas putusan pengadilan berdasarkan gugatan penghapusan;
4     Tidak diperpanjang jangka waktu pendaftaran mereknya.
       
Yang menjadi alasan penghapusan pendaftaran merek yaitu:
  1. Merek tidak digunakan selama 3 tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir, kecuali apabila ada alasan yang dapat diterima oleh DJHKI, seperti: larangan impor, larangan yang berkaitan dengan ijin  bagi  peredaran  barang  yang menggunakan merek yang bersangkutan atau keputusan dari pihak yang berwenang yang bersifat sementara, atau larangan serupa lainnya yang  ditetapkan dengan peraturan pemerintah;
  2. Merek digunakan untuk jenis barang/atau jasa yang tidak sesuai dengan jenis barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya,termasuk pemakaian merek yang tidak sesuai dengan  pendaftarannya.
5.   Pihak yang Berwenang Menangani Penghapusan dan Pembatalan Merek Terdaftar
Kewenangan mengadili gugatan penghapusan maupun gugatan pembatalan merek terdaftar adalah pengadilan niaga.

6.   Jangka waktu perlindungan hukum terhadap merek terdaftar
Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan berlaku surat sejak tanggal penerimaan permohonaan merek bersangkutan. Atas permohonan pemilik merek jangka waktu perlindungan merek jangka waktu perlindungan merek terdaftar dapat diperpanjang setiap kali untuk jangka waktu yang sama.

7.   Perpanjangan jangka waktu perlindungan merek terdaftar
Permohonan perpanjangan pendaftaran merek dapat diajukan secara tertulis oleh pemilik merek atau kuasanya dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan bagi merek terdaftar tersebut.

8.   Sanksi bagi pelaku tindak pidana di bidang merek
      Sanksi bagi orang/pihak yang melakukan tindak pidana di bidang merek yaitu:
  1. Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi barangsiapa yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan (Pasal 90 UUM).
  2. Pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) bagi barangsiapa yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan (Pasal 91 UUM).

10     Sanksi bagi orang/pihak yang memperdayakan barang atau jasa hasil pelanggaran sebagaimana     
         dimaksud di atas
Pasal 94 ayat (1) UUM menyatakan: “Barangsiapa yang memperdayakan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 93, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.200.000.000.,00 (dua ratus juta rupiah)”

11.   Permohonan Pendaftaran Merek

  1. Permohonan pendaftaran merek diajukan dengan cara mengisi formulir yang telah disediakan untuk itu. 
  2. dalam bahasa Indonesia dan diketik rangkap 4 (empat).
  3. Pemohon wajib melampirkan:
  4. surat pernyataan di atas kertas bermeterai cukup yang ditandatangani oleh pemohon (bukan kuasanya),  
  5. yang menyatakan bahwa merek yang dimohonkan adalah miliknya;
  6. surat kuasa khusus, apabila permohonan pendaftaran diajukan melalui kuasa;
  7. salinan resmi akte pendirian badan hukum atau fotokopinya yang dilegalisir oleh notaris, apabila pemohon badan hukum;
  8. 24 lembar etiket merek (4 lembar dilekatkan  pada formulir)  yang dicetak di atas kertas;
  9. fotokopi kartu tanda penduduk pemohon; bukti prioritas asli dan terjemahannya dalam bahasa  Indonesia, apabila digunakan dengan hak prioritas; dan bukti pembayaran biaya permohonan
D.    Contoh Kasus Pelanggaran Hak Merk

 Tuntutan untuk Direktur Tossa Ditunda
      KENDAL -Sidang pidana di PN Kendal dengan agenda tuntutan jaksa terhadap Direktur PT Tossa Shakti, Cheng Sen Djiang, Selasa lalu ditunda sampai waktu yang belum ditentukan. Jaksa yang menangani perkara itu, R Adi Wibowo SH, saat ditanya alasan penundaan, hanya mengatakan, petunjuk dari atasan belum turun.
 "Rencana tuntutan yang kita ajukan ke atas belum turun," kata dia.
Ini adalah penundaan kali kedua. Mestinya tuntutan dijadwalkan 6 Maret, namun ditunda sampai 20 Maret (Selasa lalu-Red). Tetapi ternyata pada hari itu pun sidang belum bisa dilaksanakan. Padahal pihak pengadilan sudah mengagendakan dan menuliskannya di papan jadwal sidang.
Menyikapi penundaan sidang itu, Doddy Leonardo Joseph, legal officer PT Astra Honda Motor (AHM) Jakarta selaku pelapor, menyatakan kekecewaannya. Dia khusus datang dari Jakarta untuk memantau perkembangan perkara tersebut.
Cheng dilaporkan terkait dengan dua jenis produk PT Tossa Shakti (TS), yaitu motor Krisma 125 dan Supra X, yang model maupun namanya persis produk AHM.
Krisma 125, sebelumnya juga bernama Karisma 125 (sama persis dengan Honda Karisma 125-Red), tapi kemudian diubah setelah disomasi oleh AHM. Terdakwa dituduh menggunakan hak cipta milik orang lain.

Keterangan Beda
Dody mengaku tertarik mengikuti sidang karena ada keterangan Cheng yang berbeda, dengan saat Tossa menggugat PT AHM di Pengadilan Niaga Jakarta 16 Februari 2005. Saat itu dia mengatakan, nama Krisma -yang merupakan ubahan dari Karisma- diambil dari nama anaknya Krisma Wulandari Warsita, dengan akta kelahiran No. 3137/TP/2005.
Di tingkat MA Tossa kalah. MA menyatakan, Tossa dengan tanpa hak telah menggunakan merek Karisma, yang memiliki persamaan dengan merek terkenal milik AHM. Perusahaan itu juga diperintahkan untuk menghentikan produksi dan peredaran barangnya.
Namun saat disidang pidana di PN Kendal dia mengaku, nama Karisma, Krisma, maupun Supra itu berasal dari Nanjing Textile, produsen komponen motor di Cina. Sedangkan Tossa hanya merakit dan memasang segala sesuatu yang telah ada.
Kuasa hukum Tossa, Agus Nurudin SH, belum bisa dihubungi. Tetapi saat ditemui sebelumnya dia mengatakan, PT AHM tak memiliki disain industri sepeda motor Karisma maupun Supra. Karena itu dia merasa yakin bisa mematahkan dakwaan jaksa. (C23- 16)

Kesimpulan :

Menurut saya seharusnya dalam sebuah permasalahan ini Doddy Leonardo Joseph selaku PT Officer PT Astra Honda Motor cepat tanggap dalam melaporkan tindak pelanggaran hak merk yang telah dilakukan oleh Cheng Sen Djiang selaku Direktur PT Tossa Shakti yang memakai kosakata nama yang sama dengan produk miliknya yaitu nama Karisma yang kemudian diganti namanya menjadi Krisma setelah mendapatkan somasi dari PT AHM. Dalam persidangan PT Tossa Shakti sendiri memakai alasan yang berbeda, pada Pengadilan Niaga Jakarta, dia mengatakan bahwa nama Krisma yang merupakan ubahan dari Karisma yang diambil dari nama anaknya Krisma Wulandari Warsita. Dan sedangkan dalam sidang pidana di PN Kendal dia mengaku bahwa nama itu berasal dari Nanjing Textile, produsen komponen motor di Cina. Merk AHM telah dirugikan dengan Tossa  yang dengan tanpa hak telah menggunakan merek Karisma

Sumber :
Buku
Tamotsu Hozumi. 2006. Asian Copyright Handbook (Buku Panduan Hak Cipta Asia Versi Indonesia). Jakarta : IKAPI.
Rachmadi Usman, S.H.2003. Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia). Bandung : PT.Alumni.
Mulyatno. 2000. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta.
Situs Internet
URL: http://www.kemenkumham.go.id/attachments/article/156/uu19_tahun%202002.pdf, 19 Mei 2015.
URL: http://www.dgip.go.id/hak-cipta/referensi-hukum-cipta, 20 Mei 2015.
URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_cipta, 20 Mei 2015.
URL: http://www.bnn.go.id/portal/_uploads/perundangan/2006/08/25/hak-cipta-ok.pdf, 19 Mei 2015.
URL: http://hakintelektual.com/hak-cipta/prosedur-pendaftaran-ciptaan/, 19 Mei 2015.
URL: http://hakintelektual.com/hak-cipta/masa-berlaku-hak-cipta/, 20 Mei 2015.
URL: http://dunia.vivanews.com/news/read/309208-as--ri-masuk-daftar-pelanggaran-hak-cipta, 19 Mei 2015.
URL: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24918/3/Chapter%20II.pdf, 19 Mei 2015.
URL: http://pusdiklat.kemenperin.go.id/index.php?option=com_docman&task=doc_download&gid=167&Itemid=353, 20 Mei 2015.
URL: http://eprints.undip.ac.id/17575/1/UNING_KUSUMA_HIDAYAH.pdf, 19 Mei 2015.
URL: http://www.bsa.org/country/News%20and%20Events/News%20Archives/global/05152012-idc-globalpiracystudy.aspx, 20 Mei 2015.
URL: http://portal.bsa.org/globalpiracy2011/downloads/study_pdf/2011_BSA_Piracy_Study-Standard.pdf, 19 Mei 2015.
URL: http://www.ikapi.org/entertainment/entertainment-news/movies/1554-jangan-takut-menghadapi-mafia-pembajakan-buku.html, 20 Mei 2015.

URL: http://www.mediasionline.com/readnews.php?id=2864, 20 Mei 2015.

Saidin, H. OK. S.H., M. Hum, Aspek Hukum Hek Kekayaan Intelektual (Intellectual
PropertyRights), Edisi Revisi 6, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
http://iroelshareblog.blogspot.co.id/2015/05/makalah-pelanggaran-hak-cipta.html
http://mari-belajardanberbagi-ilmu.blogspot.co.id/2013/06/hak-merek.html